Nāvā Sutta (lanjutan)

23 Sep 2019

No. 39/IV/Sept/2019

Lanjutan

Kemudian atas dasar intuisi atau kecerdasan yang mungkin saja merupakan efek dari pāramī yang sudah penuh, mereka kemudian merenung dan mencermati ajaran tersebut. Mereka mulai mencermati (upaparikkhantā) awal, tengah dan akhir dari ilmu tersebut. Mereka menemukan awal dan tengah dari ajaran tersebut namun tidak melihat akhir dari ajarannya. Mereka tidak menemukan tujuan tertinggi dari mempraktikkan ajaran ini seperti dalam ekspresi, “Dengan ilmu ini, inilah yang akan bisa dicapai. Di atas ini sudah tidak ada lagi yang bisa dicapai!” Ketika mereka berdua menyatakan hal tersebut kepada gurunya, Sañcaya mengatakan bahwa dia sendiri juga tidak melihat akhir dari ajaran tersebut. Kedua sahabat itu pun kemudian meminta izin dari gurunya untuk mencari akhir dari ajaran ini. Sang guru menjawab, ”Carilah sesuka kamu (yathāsukhaṃ gavesathā”ti).” Setelah mendapatkan izin dari gurunya, mereka mulai mengembara untuk mencari amata (keadaan tanpa kematian) dan dalam waktu yang singkat mereka berdua menjadi sangat terkenal di seluruh wilayah Jambudīpa (India).

Ketika mereka sedang mengembara mencari tanpa kematian, kebetulan sekali Begawan kita (amhakaṃ bhagavā) muncul di dunia, memutar roda Dhamma dan akhirnya tiba di Rājagaha. Diceritakan bahwa saat itu Begawan baru saja menyelesaikan retret musim hujan yang pertama. Setelah menyelesaikan vassa pertama, Beliau menuju ke Rājagaha.

Kemudian dua sahabat tadi Upatissa dan Kolita setelah mengembara ke seluruh pelosok Jambudīpa untuk mencari amata, tetap saja tidak menemukan jawaban dari pencarian mereka sehingga akhirnya mereka berdua kembali ke Rājagaha.

Cerita lengkap hendaknya dipahami seperti yang telah disampaikan di Pabbajjākkhandhaka (Mahāvagga 60) yang diawali dengan, “Kemudian, di pagi hari, setelah Y.A. Assaji mengenakan jubah.” Ketika dua orang sahabat tersebut telah pergi meninggalkan keduniawian, Y.A. Sāriputta merealisasi pengetahuan tentang kesempurnaan seorang murid hanya dalam waktu setengah bulan. Setiap kali dia tinggal di wihara yang sama dengan Y.A. Assaji Thera, setelah pergi melayani Begawan, maka dia akan pergi melayani “sesepuh” dengan pikiran yang penuh hormat, “Yang Mulia ini adalah guru pertama saya. Dengan dukungannya, saya menjadi paham ajaran Begawan.”

Yang dimaksud dengan melayani “sesepuh” adalah melayani Assaji Thera. Ini adalah satu teladan yang harus kita contoh. Kita harus menghormati guru-guru spiritual kita. Walaupun telah menjadi arahat dan murid terkemuka, Y.A. Sāriputta masih tetap menghormati Y.A. Assaji.

Setiap kali dia tidak tinggal bersama di satu wihara dengan Assaji Thera; ketika itu, di arah mana Thera tinggal, di arah itu dia memandang, bersujud dengan bertumpu pada lima titik, ber-añjali dan memberi hormat. Hal seperti ini dilakukannya setiap hari. Akan tetapi, tindakan beliau menjadi isu bagi murid-murid Buddha yang lain. Para bhikkhu mulai membicarakan perilaku Y.A. Sāriputta tersebut, “Walaupun Sāriputta telah menjadi murid kepala, dia masih saja memberi hormat kepada arah penjuru mata angin. Sampai hari ini pun dia belum meninggalkan pandangan atau ajaran para brahmana (brahmanadiṭṭhi).”

Singkat cerita dengan elemen telinga-dewa-Nya (dibbasota dhātu), Begawan mendengar percakapan para bhikkhu tersebut dan kemudian bertanya, “Wahai para bhikkhu, kalian sedang bercakap- cakap tentang apa di sini?” Mereka kemudian menjelaskan kepada Buddha dan Buddha berkata, “Wahai para bhikkhu, Sāriputta tidak memberi hormat kepada arah mata angin, dia bersujud menghormati dan memuliakan gurunya yang telah mendukungnya sehingga dia bisa memahami ajaran. Sāriputta adalah seorang yang sangat menghormati gurunya.” Ācariyapūjā atau penghormatan kepada guru adalah tradisi yang bagus. Bahkan di Myanmar, acara tersebut diadakan paling tidak satu kali dalam satu tahun untuk secara khusus memberikan penghormatan kepada guru-guru kita.

Sumber: Ashin Kheminda, Buku Kompilasi Ceramah tentang SUTTANTA,
Dhammavihārī Buddhist Studies, Jakarta, 2019. Hlm 152-155