Kesibukan sudah terasa sehari sebelumnya yaitu pada hari Sabtu sore,
panitia sudah mulai memindahkan logistik dan perlengkapan ke lokasi acara.
Mereka mulai merangkai bunga, mengatur kursi, menyiapkan jalur umat dan berbagai aktivitas lainnya.
Menjelang malam, muda-mudi DBS—yang akan mengisi acara kesenian—satu per satu berdatangan untuk memulai latihan.
Bahkan sampai lewat tengah malam masih terlihat ramai di sana.

Keesokan harinya, yaitu tanggal 26 Mei 2019, di Minggu pagi yang cerah, perayaan Waisak DBS 2019 kembali digelar di Ballroom Mal Taman Palem Jakarta Barat. Sekitar pukul 9 pagi, iring-iringan anggota Saṅgha bersama kappiyakāraka-nya memulai prosesi Saṅghika dāna. DBS mulai memperkenalkan konsep Saṅghika dāna alih-alih piṇḍapāta yang biasa dilakukannya. Saṅghika dāna adalah berdana yang statusnya merupakan milik Saṅgha. Proses berdananya mirip dengan piṇḍapāta hanya ini lebih sederhana. Umat tidak perlu memasukan na catupaccaya-nya ke dalam patta (mangkuk) melainkan memberikannya langsung kepada kappiyakāraka setelah barang yang didanakan disentuh oleh anggota Saṅgha.

Konsep baru ini, digabungkan dengan pengaturan jalur umat yang rapi, berhasil membuat prosesi Saṅghika dāna menjadi lebih tertib dan singkat. Ibu Susi, salah satu umat yang hadir, mengatakan berdana kali ini terasa lebih teratur. Tidak ada lagi umat yang berebut memasukkan barang ke dalam patta sehingga membuat suasana tetap khusyuk.

Di dalam sambutannya, pembimas Buddha Provinsi DKI Jakarta Bapak Suwanto, S.Ag., M.M., menyoroti pentingnya kebijaksanaan dalam memilah informasi yang berkembang di masyarakat. “Dengan momentum Waisak ini hendaknya kita dapat menjaga keharmonisan, toleransi dan keberagaman umat sehingga persatuan bisa terus dilestarikan. Dengan kebijaksanaan yang ada di dalam diri kita diharapkan kita bisa memilah dan mencerna informasi yang berkembang di masyarakat sehingga bisa menjaga kebersamaan yang sudah ada ini dengan baik”.

Selanjutnya muda-mudi DBS dari Dhammagavesī mengisi acara kesenian dengan drama musikal dan dilanjutkan dengan pelafalan syair oleh murid-murid kelas Abhidhamma. Kali ini ada dua syair yang dibawakan yaitu Anekajati dan Cittasaṅgahavibhāga.

Ceramah Waisak disampaikan oleh Ashin Javana, M.A. dari Myanmar. Beliau adalah teman satu angkatan Ashin Kheminda di ITBMU (International Theravada Buddhist Missionary University)  yang datang ke Jakarta selama 2 minggu dalam rangka perayaan Waisak dan peresmian Sīmā Ratanaghara di Mega Mendung. Dalam ceramahnya Ashin membabarkan tentang sembilan sifat agung dari Sugata. Salah satunya adalah Sugato (seseorang yang telah datang dan pergi dengan sempurna) yaitu menyempurnakan 10 pāramī dalam 3 tingkatan. Ashin juga menjelaskan apa yang harus umat Buddha lakukan setelah Buddha parinibbāna yaitu mempraktikkan Dhamma dengan sungguh-sungguh (appamādena sampādethā): belajar kitab (pariyatti); mempraktikkan Dhamma (paṭipatti) hingga menembus Empat Kebenaran Mulia (paṭivedha). Ceramah ini diterjemahkan oleh Kadek Yudi Murdana M.A.

Pada perayaan kali ini Ashin Kheminda kembali meluncurkan karya terbarunya yaitu Manual Abhidhamma Bab 6: Materi. Dalam kata sambutannya Ashin menekankan tentang pentingnya penerjemahan kitab suci Tipiṭaka, atthakathā (kitab komentar) dan ṭīkā (kitab subkomentar) dari Bahasa Pāḷi ke dalam Bahasa Indonesia agar umat Buddha di Indonesia memiliki sumber atau referensi yang dapat dipercaya dan tidak lagi menimbulkan ambigu. Memang pekerjaan besar ini akan membutuhkan waktu yang sangat lama—negara Myanmar yang mayoritas penduduknya Buddhis pun membutuhkan waktu seribu tahun!—tetapi bagaimana pun pekerjaan ini harus dimulai dari sekarang.

(Robby Sidharta)