Kiṃsīla Sutta 329

18 Aug 2019

No.34/III/Agt/2019

329) Bergembira di dalam Dhamma, senang dengan Dhamma, kukuh di dalam Dhamma, mengerti bagaimana cara menyelidiki Dhamma, seseorang tidak “mengembara” di percakapan yang merusak Dhamma, melainkan hanya yang dituntun dengan kata-kata yang telah benar-benar diucapkan dengan indah.

Dalam semua kalimat tersebut, yang dimaksud dengan Dhamma adalah samatha dan vipassanā.

Yang dimaksud dengan bergembira di dalam Dhamma adalah memiliki kegembiraan di dalam Dhamma; senang di dalam Dhamma adalah menyukai dan tidak berminat terhadap yang lain.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan kukuh di dalam Dhamma adalah seseorang yang berjalan di atas Dhamma (dhamme ṭhito dhammaṃ vattanato) dan mengerti bagaimana cara menyelidiki Dhamma, “Ini adalah pengetahuan tentang kemunculan, ini adalah pengetahuan tentang kelenyapan.”

Di syair ini ada satu kalimat, tidak “mengembara” di perdebatan yang merusak Dhamma yang artinya kita harus menghindari perdebatan-perdebatan mengenai Dhamma yang hanya memicu munculnya kilesa.

Untuk seseorang yang vipassanā-nya masih muda (taruṇavipassakassa)—artinya vipassanā-nya belum berkembang—maka “percakapan binatang” seperti misalnya percakapan tentang raja dan lain-lain bisa merusak samathadhamma dan vipassanādhamma. Demikianlah yang dimaksud dengan percakapan yang merusak Dhamma.

Disebut sebagai percakapan binatang karena seperti halnya dengan binatang yang berjalan horizontal, tidak vertikal, maka percakapan seperti itu tidak membawa atau menuntun ke surga dan jalan ke pembebasan. Kitab-kitab kita mengelompokkan 27 bentuk percakapan sebagai percakapan binatang, yaitu:


1) Percakapan tentang raja (rajakathā). Di dalam kitab diberikan contoh seperti menceritakan kehebatan Raja Mahāsammata atau Raja Mandhātā yang merupakan raja-raja zaman dahulu.
2) Percakapan tentang pencuri (corakathā). Percakapan seperti ini misalnya membicarakan pencuri yang bernama Mūladeva yang merupakan seorang yang pintar dalam hal mencuri.
3) Percakapan tentang Perdana Menteri atau kepala menteri kerajaan (mahāmattakathā). Menceritakan kehebatan mereka tanpa menghubungkannya dengan karakteristik universal yaitu anicca, dukkha dan anatta (tidak kekal, penderitaan dan bukan diri).
4) Percakapan tentang perang (senākathā).
5) Percakapan tentang bala tentara (bhayakathā).
6) Percakapan tentang bahaya (yuddhakathā).
7) Percakapan tentang makanan (annakathā).
8) Percakapan tentang minuman (pānakathā).
9) Percakapan tentang kain/pakaian (vatthakathā).
10) Percakapan tentang tempat tidur (sayanakathā).
11) Percakapan tentang untaian bunga (mālākathā).
12) Percakapan tentang wewangian/parfum (gandhakathā).
13) Percakapan tentang sanak-famili (ñātikathā).
14) Percakapan tentang kendaraan (yānakathā).
15) Percakapan tentang desa (gāmakathā).
16) Percakapan tentang kota perdagangan (nigamakathā).
17) Percakapan tentang kota besar (nagarakathā).
18) Percakapan tentang negara (janapadakathā).
19) Percakapan tentang perempuan (itthikathā)
20) Percakapan tentang pahlawan (sūrakathā).
21) Percakapan tentang jalanan (visikhākathā).
22) Percakapan di pinggir sumur (kumbhaṭṭhānakathā).
23) Percakapan tentang masa lalu seseorang yang telah meninggal (pubbapetakathā).
24) Percakapan ke sana kemari (nānatthakathā).
25) Spekulasi tentang dunia (lokakkhāyikā).
26) Spekulasi tentang samudra (samuddakhāyikā).
27) Spekulasi tentang menjadi ini atau itu (itibhavābhavakathā).

Untuk menghindari percakapan seperti itu maka percakapan harus dalam kerangka Empat Kebenaran Mulia yang dapat memperkuat pemahaman kita tentang anicca, dukkha dan anatta.

Dia hendaknya dituntun dengan kata-kata yang telah benar-benar diucapkan dengan indah; benar-benar di sini hanyalah kata-kata yang berkaitan dengan samatha dan vipassanā; tentang bagaimana mengembangkan samādhi dan merealisasi anicca, dukkha dan anatta di setiap fenomena nāma dan rūpa. Seseorang hendaknya memanfaatkan waktunya dengan sebaik mungkin. Dia hendaknya memanfaatkan waktunya hanya untuk bermeditasi; tentu saja kecuali untuk urusan- urusan pribadi seperti mandi dan lain sebagainya.

Sumber: Ashin Kheminda, Buku Kompilasi Ceramah tentang SUTTANTA, Dhammavihārī Buddhist Studies, Jakarta, 2019. Hlm 122-127.