Nāvā Sutta 324

04 Nov 2019

No.45/I/Nov/2019

324) Demikian juga, seorang yang telah mencapai pengetahuan yang tertinggi (vedagū), terlatih dengan baik (bhāvitatta), banyak pengetahuan (bahussuta) dan memiliki sifat yang tidak mudah terganggu (avedhadhamma); dia mampu menolong orang lain—yang memiliki telinga yang siap mendengar sebagai kondisi penopang yang sangat kuat—untuk mengalami dan memahaminya.

Di syair di atas terdapat kalimat memiliki telinga yang siap mendengar yang perlu diberikan sedikit penjelasan. Seringkali ketika seseorang bertemu dengan guru yang baik tetapi—karena tidak mempunyai telinga yang siap untuk mendengar sebagai penopang yang kuat untuk merealisasi Dhamma—akhirnya kesempatan berharga itu lenyap begitu saja tanpa ada kemajuan batin yang diperolehnya.

Ketika Pangeran Siddhattha mencapai penerangan sempurna, pada awalnya Beliau enggan untuk mengajarkan Dhamma tetapi setelah dibujuk oleh Brahmā Sahampati kemudian Beliau berpikir dan mencari siapa yang siap mendengarkan Dhamma yang sangat dalam ini.

Kemudian sempat terpikirkan kedua guru pertama Beliau yaitu Ālārā Kālāma dan Uddaka Rāmaputta. Akan tetapi setelah dicari ternyata mereka berdua sudah lahir kembali di alam brahmā yang tidak mempunyai tubuh jasmani. Beliau pun tidak bisa membantu dan tidak bisa apa-apa. Akhirnya Beliau mencari murid yang lain yang siap mendengarkan ajaran Beliau, yaitu pañcavaggiya. Beliau berpikir bahwa pañcavaggiya pasti bisa menerima Dhamma ini, karena mereka berlima adalah pertapa dan kebijaksanaannya sudah cukup kuat, sehingga hanya dengan sedikit ajaran saja mereka pasti akan mampu merealisasi Dhamma.

Kemudian Buddha melakukan perjalanan dari Uruvelā menuju ke Taman Rusa (Isipatana) untuk menemui pañcavaggiya (lima pertapa). Dalam perjalanan-Nya, di tengah jalan antara Gayā dan pohon Bodhi, Buddha bertemu dengan seorang ājīvakā— seorang pertapa telanjang—bernama Upaka. Upaka bertanya kepada Buddha tentang pencapaiannya. Ketika Buddha mengatakan bahwa Beliau telah mencapai penerangan sempurna lalu Upaka bertanya apakah Buddha adalah seorang “Anantajina”—sebuah nama julukan untuk Buddha. Ketika Buddha mengakui nama tersebut, Upaka menggelengkan kepala dan berkata, “Teman, semoga demikian adanya,” dan pergi meninggalkan Buddha.

Kejadian tersebut sangat menarik, bagaimana seorang seperti Upaka melewatkan kesempatan yang sangat berharga saat bertemu dengan guru yang hebat, bahkan bertemu berhadap-hadapan dan sudah dinyatakan sendiri oleh Buddha bahwa Beliau telah mencapai penerangan sempurna, namun tetap saja dia tidak percaya. Lihatlah, ada manusia-manusia yang seperti itu, bahkan ketika mendapatkan kesempatan untuk berhadap-hadapan langsung dengan Buddha saja tidak memicu dia untuk berguru kepada-Nya. Padahal Buddha adalah seorang pertapa yang besar dan hebat.

Sebenarnya kalau kita membaca di kitab komentar di sana dijelaskan bahwa, ketika Buddha berjalan menuju ke tempat pertapaan lima pertapa, Beliau sudah mengetahui bahwa Upaka juga sedang berjalan di jalur tersebut. Setelah dilihat oleh Beliau, di kehidupannya kali ini, di suatu saat nanti, Upaka mempunyai kesempatan untuk menjadi seorang anāgāmī. Namun Upaka membutuhkan kondisi tertentu yang dapat diperolehnya melalui pertemuan dengan Buddha. Kejadian ini akan tersimpan di dalam ingatannya. Saat kejadian ini dia belum sadar, tidak masalah, suatu hari nanti dia akan sadar. Jadi, pertemuan ini akan memberikan satu objek yang sangat kuat untuk menopang pertemuan dengan Buddha yang berikutnya—yang akan benar-benar mengubah arah kehidupannya. Memang pada hari itu dia pergi meninggalkan Buddha, tetapi di kemudian hari dia akan datang untuk mencari Buddha dan berguru kepada-Nya.

Bersambung….

Sumber: Kheminda, Ashin. Buku Kompilasi Ceramah tentang SUTTANTA,
Dhammavihārī Buddhist Studies, 2019. Hlm 168-170.